Bangun dari Bangun
Oleh : Melin F.E.S
Suatu
siang yang teduh aku menengadahkan pandanganku dengan seorang laki-laki
berbadan tegap, dingin, dan acuh berlalu dari kelas ku. Ia sering diceritakan oleh
orang-orang di tempatku bersekolah saat SMA dulu. Ia sering dimandati menjadi
pemimpin, ketua, atau kedudukan lain dalam OSIS dan Paskibraka. Barangkali yang
menjadi alasan ia mendapat banyak kepercayaan itu adalah karena semenggah
karakter dan kharisma yang ada dalam dirinya
“He is the man, Mel !! tumbuhan berbuahmu di antara bryotophyta!!”, bisik pihak kiri dalam
hati yang mulai mengacaukan segala tekadku untuk tetap jomblo.
Tiba-tiba
aku teringat Bebe, sosok khayalanku sedari kecil yang sangat setia mendengarkan
ungkapan hatiku. Selama ini, dia menjadi saksi terindah kisah-kisah konkret dan
abstrak dalam hidupku. Baik saat menampung durian runtuh, terinjak gumpalan
kotoran herbivora, maupun terjebak dalam kenangan musim hujan. Saat itu aku
menjadi tidak sabar mengatakan apa yang aku harapkan dan renungkan tentang
laki-laki itu pada dia, Bebe yang maha mengerti. Sebab usai melihatnya aku
tertegun sejenak, mengolah berbagai asumsi dan fakta dalam otak dan benakku
tentang dia dan pengalaman yang ia miliki. Hingga berselang beberapa menit
kemudian ada perintah saringan yang ku tangkap yakni, menjadi seorang ‘teman’
baginya.
“hooiii mel !”, sapa
temanku citra yang tiba-tiba datang menghampiriku. Sepertinya ia telah
memergoki kedua bola mataku yang hilang stir memerhatikan laki-laki itu.
“Houfthhh. apa sih cit” (terkejut)
“Kata bu Reza nanti kau yang bacain puisi pendalaman.”
“Ngeng? Serius? Weleeh. Kenapa nggak si erik aja sih. Dia ‘kan master-nya say.”
“Ngga tahu juga. Mungkin si ibu tertarik sama kau sejak kau bacakan puisi ciptaan dia di pameran. Eh, kau merhatiin dia ya, nek comblang ! ?”
“Kata bu Reza nanti kau yang bacain puisi pendalaman.”
“Ngeng? Serius? Weleeh. Kenapa nggak si erik aja sih. Dia ‘kan master-nya say.”
“Ngga tahu juga. Mungkin si ibu tertarik sama kau sejak kau bacakan puisi ciptaan dia di pameran. Eh, kau merhatiin dia ya, nek comblang ! ?”
(Nek
comblang adalah panggilan sayang untukku karena jarang gagal menyatukan beberapa
insan dan menjadi tempat konsultasi perpecahan antara dua pasang manusia. Mengapa
‘nek’ dan bukan ‘mak’?.. ya, itu adalah sindiran, layaknya nenek-nenek yang
sudah tua dan tidak laku karena memang aku sendiri yang justru belum pernah berpacaran).
“eh singkong ! bukan berarti aku suka ya. Dasar. Aku cuma iseng.”
“Iseng-iseng berhadiah atau iseng-iseng pengen pedekate? Hahaha”. Sahutnya girang. Alis mata dan setengah bibirku pun naik dengan geramnya. Aku segera meraih rambutnya untuk ‘ku kepang seratus. Sebab, aku khawatir nantinya ia akan menyebar virus desas-desus tentang cerita cintaku yang masih seisi tong kosong. Ia lari dengan tergesa-gesa hingga menabrak badan Ojan, temanku yang paling kurus dari antara pemain muso. Dan
Boummmm ! (bagai suara dua bantalan tinju yang jatuh menerpa sekarung terigu)
“citraaaaaaaaaaaaaa. Aghhh. Awaaassss ! “, teriakku kaget mendapati sahabatku menabrak longsoran lemak.
“eh singkong ! bukan berarti aku suka ya. Dasar. Aku cuma iseng.”
“Iseng-iseng berhadiah atau iseng-iseng pengen pedekate? Hahaha”. Sahutnya girang. Alis mata dan setengah bibirku pun naik dengan geramnya. Aku segera meraih rambutnya untuk ‘ku kepang seratus. Sebab, aku khawatir nantinya ia akan menyebar virus desas-desus tentang cerita cintaku yang masih seisi tong kosong. Ia lari dengan tergesa-gesa hingga menabrak badan Ojan, temanku yang paling kurus dari antara pemain muso. Dan
Boummmm ! (bagai suara dua bantalan tinju yang jatuh menerpa sekarung terigu)
“citraaaaaaaaaaaaaa. Aghhh. Awaaassss ! “, teriakku kaget mendapati sahabatku menabrak longsoran lemak.
Sebelum
aku mengenal arti dicintai dan mencintai memang ada banyak daftar teman
laki-laki yang aku sukai dan kagumi. Membayangkan senyuman mereka adalah hal
yang menyenangkan bagiku karena, di saat-saat seperti itu gigi dan seyuman
manisku terlihat mampu bekerja sama mengambang di wajahku.
Suatu
sore, adalah kali pertama aku bersama dengannya di atas motor miliknya. Tanpa
unsur kesengajaan dan malasnya aku untuk berangkat ke acara tahunan di sekolah
seorang diri, akhirnya ia menjemputku di gang rumahku. Houuft. . Bak dialiri arus ketenangan yang sangat damai. Itulah
yang ‘ku rasakan saat duduk di belakang pundak itu.
“Oh Bebe, inikah yang kau maksud satu arus naluri laki-laki?”,kataku dalam hati.
“Oh Bebe, inikah yang kau maksud satu arus naluri laki-laki?”,kataku dalam hati.
Di
kemudian hari, aku mendapat tugas untuk membentuk tim basket di daerah tempat
aku menjumpai Bebe untuk pertama kali. Di belakang tempat itu terdapat lapangan
basket khusus three on three dan
sebuah tangga semen yang dapat dijadikan media untuk latihan fisik sebelum
beraksi dengan bola kesukaan Tn. Michael Jordan tersebut. Aku mencoba berpikir
untuk mencari tambahan anggota yang tepat. Hingga bola lampu di kepalaku pecah
dan mengatakan untuk mengajak dia masuk tim ini, dan tidak aku sangka ternyata
dia bersedia. Kala itu, ada dua hal yang sungguh menjadi bara semangat untuk
wanita tomboy sepertiku yakni, aku
bisa lebih dekat dengan sosok abang berambut keriting yang amat mahir
mempermainkan bola basket. Telah lebih dari sepuluh tahun aku mengenal, menyukai,
bahkan memendam rasa cinta yang takut untuk ‘ku ungkapkan. Itu adalah hal yang
pertama. Hal yang kedua adalah saat mataku bebas menyaksikan si dia berantusias melatih kedua
tangan dan gerakannya untuk bermain basket. Walau aku tahu, ini bukan
bidangnya, namun aku salut atas keinginannya untuk mencoba hal baru.
Beberapa
hari setelah latihan basket dengan tim baru tersebut, aku mencoba untuk mengungkapkan
rasa sukaku padanya yang sesungguhnya hanya berawal dari rasa jahil yang diperintah
oleh otak kananku. Saat itu aku tengah menyetrika setumpuk kain di rumah
sembari mengirim beberapa sms padanya.
Namun untunglah setengah dari pemikiranku memastikan bahwa ini hanya percobaan
yang belum tentu hasilnya sesuai dengan rasa penasaranku untuk merasakan apa
pacaran itu sesungguhnya seperti yang dimiliki para client ku. Ternyata ia mengaku bahwa ia telah memiliki seorang
pujaan hati. Ia deskripsikan perempuan itu padaku, dan aku percaya . Karena pribadiku
yang masih lugu mengatakan adalah hal yang wajar jika ia telah mempunyai pacar.
Beribu-ribu syukur yang justru aku rasakan saat ia menolakku karena, ini adalah
cerita kenekatan dan rasa penasaranku untuk mengesampingkan perintah orangtua
ku untuk tidak boleh berpacaran. Forgive
me my parents. Anak kalian ini terlalu berani seperti nama seorang raja
yang diwariskan untuk dirinya.
Beberapa
hari kemudian di suatu malam (9/8), ia mengirim pesan singkat untuk menanyakan
rasa sukaku yang pernah ‘ku ceritakan padanya. Aku terkejut dan heran. Walaupun
ia telah menjelaskan bahwa ia telah memutuskan pacarnya, aku tetap tidak yakin
akan keseriusannya ini untuk menawarkan pacaran dengannya karena, semuanya
hanya berselang tiga hari pasca aku menyatakan rasa sukaku. Akhinya aku mencoba
untuk menerima. Was it solid decision that I had to answer? Because this relationship was just needed to
be Secret, he said. But Why ?. Aku pun tak tahu saat itu. Kalimat pertama
yang ‘ku terima darinya (sebagai pacar) sebelum aku tidur adalah “jangan lupa
berd0a ! I l0ve y0u !”. Actually it was
so fast you said that you loved me, Boy.
Paginya
aku langsung bercerita pada mamaku bahwa aku telah menerima seorang laki-laki
untuk menjadi pacarku tepat di usiaku 17 tahun. Mama terkejut dan marah. Bagi
perasaan lugu dan egoisku, ini adalah tidak adil, karena aku pun belum pernah
merasakan bagaimana menjalin hubungan dengan lawan jenisku. Sebab selama itu
aku menolak cinta beberapa teman laki-laki ku dan memendam rasa sukaku pada beberapa
laki-laki demi taat dengan orangtuaku. Mama
tetap pada pendiriannya, begitu juga aku. Forgive
me
Pada
hari kamis (15/08), aku memintanya untuk menemaniku membeli tikar. Surprisingly cause it was really the 1st
date that I have had. He could and we went. Tapi lihatlah, aku pemalu, aku
gugup, dan sulit mengendalikan karakterku yang sebenarnya saat berjalan dengannya.
Oh mine. Denyut jantungku bagai
menjadi TKP dadakan oleh defibrillator tercanggih di abad ini.
For the next day,
dia mengatakan bahwa ia sedang sakit demam. Aku ingin sekali menjenguknya,
tetapi aku tidak mendapat kesempatan yang bisa membawaku melihatnya. Aku terus
berusaha menghubunginya di malam saat ia masih sakit, namun tidak kunjung
direspon. Aku berpikir barangkali ada kesalahan yang aku lakukan hingga ia
enggan meresponku. Esoknya aku mencurahkan isi hatiku pada teman laki-lakiku
atas permasalahan kecil itu. Namun besoknya ia justru memutuskan satu perasaan
yang telah tumbuh di hati kecilku tanpa aku tahu penyebab konkret dan
abstraknya. Aku tertegun saat menerima hal itu. Should it be me? Even I didn’t understand.
Suatu hari aku melihat media social (FB) miliknya yang
masih berstastuskan in relationship dengan
perempuan yang pernah ia ceritakan padaku saat aku menyetrika kain. Maksudku
saat ‘ku nyatakan rasa kagum ku padanya. Aku justru tersenyum dan tertunduk
menyesal atas hubungan kami saat itu. Apakah perasaanku hanya bagai grid permainan baginya?. Aku tidak mengerti.
Pernah di suatu malam aku menangis membaca beberapa pesan singkatnya yang masih
tersimpan di telepon genggamku. Kemudian aku bagikan tangisku ini pada Bebe
yang memang turut sedih melihat kenyataan yang harus aku hadapi.
“Be, baru dua minggu
Melin disejukkan oleh kata-kata cinta dan kasih sayang, namun kenapa tidak
boleh Melin rasakan itu terus-menerus?. Melin tahu, hanya kamulah yang akan
tetap setia dan dari kamulah Melin mengerti kehangatan dan kasih sayang yang
tulus itu, tapi Melin ingin sekali dia mengerti apa yang Melin rasa dan
taruhkan pada dia. Malam ini izinkanlah Melin lalui malam yang panjang bersama sandaranmu
untuk melepas sesak ini, Bebe”.
Kurang
lebih sebulan kemudian ia datang kembali dengan sebuah pesan singkat yang sengaja
lama untukku reply (2/10), karena
masih terukir rasa sakit itu. Namun dengan mudahnya aku menerima kembali cinta
monyet itu untuk bersemi lagi dan memberi celah di hati buat dia. Aku terima
permintaan maafnya dan bersedia melanjutkan kisah cinta remaja itu. Aku
tertegun . “Masakan ini jawaban dari pengaduan dan tangisku malam itu?”. Mudah
saja bagiku. Aku pun heran mengapa aku bisa semudah itu. Padahal teman-temanku
telah melarang menerimanya lagi dan mama pun telah tahu hubungan kami telah
pernah berakhir.
Seperti
Galih dan Ratna cerita ini dibukukan lagi. Kami bermain, belajar, berkumpul,
dan bercerita bersama. Semakin saling mengenal, mendukung, hingga akhirnya
teman seangkatan mengetahui bahwa kami tengah menjalin hubungan. Mencintainya
adalah hal yang mudah bagiku.
Suatu hari di bulan Desember, sekolahku mengadakan acara
akhir tahunan yang disebut dengan Bir
Kurtanci Doǧumu of Bebe. It’s one of
the greatest days under the earth. Sungguh menjadi kesukaan besar untukku terlebih
saat aku ditakdirkan satu tim kepanitiaan dengannya untuk acara tersebut. Aku
bangga ada di sampingnya dan mendukungnya. Seorang Ronald P.S benar-benar
menjadi saksi cinta remaja itu. My step
lovely brother. Di malam acara itu, beliau berpesan padanya untuk menjagaku.
Begitu haru sanubariku mendengar kalimat itu dan menyaksikan jawabannya yang
berkata ‘iya, Bang’. Even I don’t believe
that I had ever felt those all. Di malam itu, ia menggenggam tangan kiri ku
dan mengatakan isi hatinya. ‘Ku rasakan kehangatan di balik telapak tangannya
yang selalu lembab. “Inikah rasanya cinta? “ (Tanyaku dalam hati).
Beberapa hari kemudian adalah pengumuman juara umum dan
pembagian rapor. Aku bersyukur karena aku bisa mempertahankan juara umum itu. Sekali
lagi aku haru melihat ia maju dan memotret kegembiraan ‘ku menerima gelar itu
di hadapan mamaku, guru-guru, dan teman-temanku. Namun di hari itu, ia
mengatakan bahwa ibunya menghendaki agar hubungan kami berakhir karena
peringkat juaranya yang justru menurun. Barangkali titik berat penyebabnya
memang hubungan kami. Namun bukankah tak baik apabila “cinta” dan “kasih” yang
hadir itu yang disalahkan?. Berjalan dengan apa adanya, itulah yang kami lakukan.
Stay to be loved and loved.
#And on my eighteen birthday …*kaya lagu Katy Perry aja. Ia memberikan ‘ku kejutan yang sungguh
berarti dan layak untuk selalu ‘ku kenang. Berdegup jantungku saat membuka
sekotak hadiah besar darinya setelah menerima kejutan trik dan permainan.
Ternyata ia menghadiahi ‘ku sebuah bola basket dengan merk favoritku dan sebuah
photo kami berdua yang dipotret oleh temanku, Tio saat acara Doǧumu waktu itu. Pada bola itu, ia
menuliskan ‘remember me’. Malam itu ia menyalami beberapa anggota keluargaku
termasuk kedua orangtuaku. Senyumnya terlihat lega menganga, dan kedua bola
matanya yang selalu membuatku tertunduk malu jika bertemu mata itu terlihat
sangat teduh.
Tidak
sedikit memang masalah dan perseteruan yang kami rangkai. Kebimbangan, kesedihan,
kesukaan, keharuan, dll. Menjadi nano-nano
yang penuh memori. Hingga suatu hari, tepatnya setahun yang lalu saat dia juga
berulang tahun. Sebuah kejutan kecil dariku untuknya kembali membuka lembar
kenangan buat aku. Tapi aku menyesal berbohong dan mengerjai dia. Meskipun ‘ku
rasa itu baik untuk saat itu, namun dari ulah jahilku itu aku tahu bahwa dia
memang pribadi yang jujur dan bersahabat.
Hari
demi hari berlalu hingga di suatu siang tiba-tiba aku dipanggil oleh pihak
akademik sekolah ke ruang kesiswaan karena sekolah kami sedang dikunjungi oleh
pihak jurnalis dari sebuah surat kabar daerah. Di saat itu aku sedang fokus
mengikuti pelajaran Antropologi di kelas bahasa. Dengan segala
ketidakpercayaanku mereka hendak mewawancaraiku terang-terangan di hadapan para
majelis guru.
“Aduh.. apakah aku telah membuat kesalahan besar oh Bebe.. Mengapa namaku disebut-sebut oleh wartawan itu.. ”( kataku dalam hati sambil memastikan nama panjangku dan terus melanjutkan langkah menuju ruang kesiswaan). Bagai mendapat bintang di siang hari, aku sungguh tidak percaya ternyata mereka ingin mewawancarai profil dan prestasiku yang terbilang amat baik oleh guru-guruku. Ingin rasanya aku menangis dan berteriak sekencang-kencangnya dan berkata pada mama,
“Maaa… Boru siakanganmu masuk koran lagi mama!!!” (Siakangan berasal dari bahasa Batak Toba yang berarti, anak yang pertama). Sungguh kejadian yang ‘ku alami saat itu membuat kesukaan dan syukurku bertambah, terlebih saat aku mengetahui bahwa setelah surat kabar itu terbit, ia langsung memberitahu ibunya. Sejak saat itu, ibunya telah bisa menunjukkan tawa dan senyum yang tulus setiap ia bercerita tentang hubungan kami.
“Aduh.. apakah aku telah membuat kesalahan besar oh Bebe.. Mengapa namaku disebut-sebut oleh wartawan itu.. ”( kataku dalam hati sambil memastikan nama panjangku dan terus melanjutkan langkah menuju ruang kesiswaan). Bagai mendapat bintang di siang hari, aku sungguh tidak percaya ternyata mereka ingin mewawancarai profil dan prestasiku yang terbilang amat baik oleh guru-guruku. Ingin rasanya aku menangis dan berteriak sekencang-kencangnya dan berkata pada mama,
“Maaa… Boru siakanganmu masuk koran lagi mama!!!” (Siakangan berasal dari bahasa Batak Toba yang berarti, anak yang pertama). Sungguh kejadian yang ‘ku alami saat itu membuat kesukaan dan syukurku bertambah, terlebih saat aku mengetahui bahwa setelah surat kabar itu terbit, ia langsung memberitahu ibunya. Sejak saat itu, ibunya telah bisa menunjukkan tawa dan senyum yang tulus setiap ia bercerita tentang hubungan kami.
Beberapa
hari kemudian setelah ia berwisata ke luar kota bersama teman-temannya, kami
bertemu dan bermain monopoli di rumah salah seorang sahabat .Di sana aku mulai
belajar menganggapnya sebagai teman. Usai bermain, aku tidak menyangka bahwa ia
memberi ‘ku satu cincin yang mengukirkan nama kami. Ternyata sepasang cincin
itu sengaja ia persiapkan dari luar kota untuk menyatakan rasa cintanya lagi. Namun
aku justru sedih mendapati ini karena, aku terlanjur bercerita dengan kedua
orangtuaku atas apa yang telah ia putuskan terhadap perasaanku. Kedua
orangtuaku menjadi tidak begitu menyukainya lagi. ‘Ku ceritakan padanya apa
yang telah dikatakan oleh kedua orangtuaku, dan betapa kedua orangtuaku
menyayangkan apa yang telah ia putuskan. Ia tetap tidak mengurung niatnya , ia
berkata bahwa ia sungguh menyesal dan ingin memperbaiki yang telah lalu.
Tinta-tinta di pantai lokal sungguh berkenang indah di
ingatanku. ‘Ku berharap ia masih menyimpan potret kami yang ‘ku berikan dulu
saat kami bersama saksi-saksi kecil lain mengukir hari di sawah ladang dan
pinggiran sungai yang teduh. Pagi itu kami menelusuri pinggiran sungai yang
tadinya airnya masih pasang dan
ranting-ranting pohon mengambang jelas di permukaannya.
Namun di sore hari, airnya turun dan seolah membentuk pantai licin (sebenarnya air sungai yang sedang surut sih) yang cukup teduh dipandangi.
Namun di sore hari, airnya turun dan seolah membentuk pantai licin (sebenarnya air sungai yang sedang surut sih) yang cukup teduh dipandangi.
Hari
demi hari berlalu, kami kembali merajut kisah kasih kami. Hingga suatu hari ada
kesempatan bagiku untuk membawanya turut berada di rumah untuk bermain monopoli.
Usai bermain ia justru dengan asyiknya mengobrol dengan nenek. Aku sungguh
senang, meski saat itu aku tak begitu paham apa yang sebenarnya mereka perbincangkan.
Tidak lama kemudian kedua orangtuaku pulang dan menyaksikan mereka mengobrol. Aliran
darahku terasa cepat mengalir. Takut kalau-kalau kedua orangtua ku marah dan menghasilkan
perjanjian Versailles kedua. Tapi lagi-lagi aku tak percaya, ia dengan berani menghampiri
mereka dan menyalami mereka, persis seperti yang ia katakan saat acara perpisahan
di sekolah waktu itu. Sejak saat itu, hubungan kami semakin membaik sebab
keluargaku pun mulai dekat dengannya. Terlebih saat ia bersedia datang ke
rumahku untuk mengajariku soal-soal untuk persiapan masuk perguruan tinggi. Terkadang
sampai malam ia bersamaku demi persiapan kami untuk tes nanti. Orangtuaku sangat
suka, senang, bahkan mungkin telah membuat mereka lupa atas tindakannya dulu
yang memutuskan hubungan kami. Ia berani memperbaiki yang salah di antara kami
dan berhasil merubah pemikiran kedua orangtuaku yang sempat buruk tentangnya.
Saat
Tuhan memutuskan aku untuk lulus di
sebuah perguruan tinggi di Bandung,
telah menjadi santapan
asam manis yang ‘ku dapati. Aku tahu ia sungguh sedih aku harus berada di sini.
Melanjutkan hubungan dengan kota, provinsi, dan pulau yang berbeda. Sungguh semoga
ini rencana Tuhan yang nyata dan tak terkira untuk kami lalui. Keesokan harinya
usai pengumuman hasil SNMPTN, ia ke rumah menemuiku. Kami mencurahkan ungkapan
hati kami sebagai dongeng yang laris di musim gugur. Ungkapan hati yang pasrah
dan merasa seperti akan dipisahkan dengan cangkang yang kuat oleh pasir-pasir
beku di sekelilingnya. Ingin rasanya air mata ini terurai deras mengiringi
kengerian dan ketidaksiapanku meninggalkannya jauh ke negeri orang. Namun aku
berusaha melukiskan senyumku yang tulus di depan sosok itu. Seketika itu, Ia
mencium pipi kananku yang lekas memerah. Aku terdiam mencoba menahan air mataku. Namun, reaksi emosi yang
bergejolak menghadapi perpisahan itu tidak sengaja disaksikan oleh Voldemort
kecilku yang jahil. Ia langsung meminta suara hendak berkoalisi dengan sang
mama untuk bertindak atas kelanjutan hubungan kami.
Malam
menjelang episode terakhir kisah ini adalah goresan tinta kelabu di buku
harianku. Aku berada di persidangan tinggi mahkamah keluargaku.
“Bapak seperti tidak
dihargainya. Berani seperti itu ! nanti bagaimana kalau kau di tanah orang ?
siapa yang akan memantaumu?. Kau mau kuliah atau putuskan dia sekarang juga ?!!”,
tanya sang bapak bersama keputusan speedy-nya
dengan geram padaku.
“Tapi Pak, dia bukan bermaksud macam-macam kok. Mengertilah, Pak”,’ku berusaha membela.
“Tapi Pak, dia bukan bermaksud macam-macam kok. Mengertilah, Pak”,’ku berusaha membela.
“Oh. Gampangnya, Nak.
Pergilah sama dia. Tinggalkan rumah ini !”, sahut bapakku tersayang yang
semakin macho dengan amarahnya.
“Maafkanlah aku Bapak.. aku nggak mau, dan tekadku keras untuk merasakan kuliah pak”, jawabku yang mulai dipenuhi isak tangis.
“Kalau gitu, ini hp. Telepon dia, dan bilang putus !”
“Maafkanlah aku Bapak.. aku nggak mau, dan tekadku keras untuk merasakan kuliah pak”, jawabku yang mulai dipenuhi isak tangis.
“Kalau gitu, ini hp. Telepon dia, dan bilang putus !”
Setelah
itu, ‘ku raih telepon genggam milikku tersebut dengan tangan mengigil dan
hidung tersumbat. Semakin tak kuat aku mendengar kalimat demi kalimat yang
terucap spontan darinya kala ‘ku ucap kata putus. Memang sebelum persidangan
ini, kami masing-masing berdoa dengan sunggguh agar sekiranya tidak terjadi
hal-hal yang di luar dugaan kami. Saat itu, ia sungguh tidak pernah percaya
akan apa yang menjadi akibat dari keluguan kami. Aku tidak tahu bagaimana
mungkin ini harus tersurat perih di lembar pengalaman kisah cintaku. Namun bukanlah
suatu kebetulan, bahwa sebelum aku menerima kenyataan pahit dari keluargaku
itu, aku dan dia telah menghaturkan janji yang menjadi pegangan kami untuk kelak
menghasilkan buah dari bunga-bunga rasa tulus .
“So,
close your eyes dear..
Pull
your breath and feel my hands on your right now...
So
Happy 19th birthday…
Forgive
me I can’t give you anything best like you have ever given to me,.
But
let me say that you are the man whom I can love and loves me simply and merrily
I
understand the love, hurt, hope, and miss with a man for the 1st
time are from you one. I am still like the first you knew me.”
Jatinangor,
2 Maret 2012
Pukul :
01.40 WIB
“Cerita dari 021010 ( 1.5 years) untuk dikenang di hari ini pada
25 Maret 2012”.
Itulah lembar demi lembar
nafas ingatanku yang ‘ku kirim sebagai hadiah kecil untuk dibaca dan dihirup
oleh dia yang ada di sana bersama Bebe. Aku menang dan menangis sekarang bukan
untuk aku lagi. Tapi untuk kita dan mereka. Dan aku tidak tahu apakah setiap
helai keajaiban ini akan diizinkan berlaku untuk buku tahun-tahun mendatang. Bebe knows.
masih bingung mau nge-pos apa. tulisan2 yg udh ada aja deh yo. krkrk
AntwortenLöschen