Direkt zum Hauptbereich

Bangun dari Bangun



Bangun dari Bangun

Oleh : Melin F.E.S

        Suatu siang yang teduh aku menengadahkan pandanganku dengan seorang laki-laki berbadan tegap, dingin, dan acuh berlalu dari kelas ku. Ia sering diceritakan oleh orang-orang di tempatku bersekolah saat SMA dulu. Ia sering dimandati menjadi pemimpin, ketua, atau kedudukan lain dalam OSIS dan Paskibraka. Barangkali yang menjadi alasan ia mendapat banyak kepercayaan itu adalah karena semenggah karakter dan kharisma yang ada dalam dirinya
He is the man, Mel !! tumbuhan berbuahmu di antara bryotophyta!!”, bisik pihak kiri dalam hati yang mulai mengacaukan segala tekadku untuk tetap jomblo.
Tiba-tiba aku teringat Bebe, sosok khayalanku sedari kecil yang sangat setia mendengarkan ungkapan hatiku. Selama ini, dia menjadi saksi terindah kisah-kisah konkret dan abstrak dalam hidupku. Baik saat menampung durian runtuh, terinjak gumpalan kotoran herbivora, maupun terjebak dalam kenangan musim hujan. Saat itu aku menjadi tidak sabar mengatakan apa yang aku harapkan dan renungkan tentang laki-laki itu pada dia, Bebe yang maha mengerti. Sebab usai melihatnya aku tertegun sejenak, mengolah berbagai asumsi dan fakta dalam otak dan benakku tentang dia dan pengalaman yang ia miliki. Hingga berselang beberapa menit kemudian ada perintah saringan yang ku tangkap yakni, menjadi seorang ‘teman’ baginya.
“hooiii mel !”, sapa temanku citra yang tiba-tiba datang menghampiriku. Sepertinya ia telah memergoki kedua bola mataku yang hilang stir memerhatikan laki-laki itu.
“Houfthhh. apa sih cit” (terkejut)
“Kata bu Reza nanti kau yang bacain puisi pendalaman.”
Ngeng? Serius? Weleeh. Kenapa nggak si erik aja sih. Dia ‘kan master-nya say.”
Ngga tahu juga. Mungkin si ibu tertarik sama kau sejak kau bacakan puisi ciptaan dia di pameran. Eh, kau merhatiin dia ya, nek comblang ! ?”
(Nek comblang adalah panggilan sayang untukku karena jarang gagal menyatukan beberapa insan dan menjadi tempat konsultasi perpecahan antara dua pasang manusia. Mengapa ‘nek’ dan bukan ‘mak’?.. ya, itu adalah sindiran, layaknya nenek-nenek yang sudah tua dan tidak laku karena memang aku sendiri yang justru belum pernah berpacaran).
“eh singkong ! bukan berarti aku suka ya. Dasar. Aku cuma iseng.
Iseng-iseng berhadiah atau iseng-iseng pengen pedekate? Hahaha”. Sahutnya girang. Alis mata dan setengah bibirku pun naik dengan geramnya. Aku segera meraih rambutnya untuk ‘ku kepang seratus. Sebab, aku  khawatir nantinya ia akan menyebar virus desas-desus tentang cerita cintaku yang masih seisi tong kosong. Ia lari dengan tergesa-gesa hingga menabrak badan Ojan, temanku yang paling kurus dari antara pemain muso. Dan
Boummmm ! (bagai suara dua bantalan tinju yang jatuh menerpa sekarung terigu)
“citraaaaaaaaaaaaaa. Aghhh. Awaaassss ! “, teriakku kaget mendapati sahabatku menabrak longsoran lemak.
Sebelum aku mengenal arti dicintai dan mencintai memang ada banyak daftar teman laki-laki yang aku sukai dan kagumi. Membayangkan senyuman mereka adalah hal yang menyenangkan bagiku karena, di saat-saat seperti itu gigi dan seyuman manisku terlihat mampu bekerja sama mengambang di wajahku.
Suatu sore, adalah kali pertama aku bersama dengannya di atas motor miliknya. Tanpa unsur kesengajaan dan malasnya aku untuk berangkat ke acara tahunan di sekolah seorang diri, akhirnya ia menjemputku di gang rumahku. Houuft. . Bak dialiri arus ketenangan yang sangat damai. Itulah yang ‘ku rasakan saat duduk di belakang pundak itu.
“Oh Bebe, inikah yang kau maksud satu arus naluri laki-laki?”,kataku dalam hati.
Di kemudian hari, aku mendapat tugas untuk membentuk tim basket di daerah tempat aku menjumpai Bebe untuk pertama kali. Di belakang tempat itu terdapat lapangan basket khusus three on three dan sebuah tangga semen yang dapat dijadikan media untuk latihan fisik sebelum beraksi dengan bola kesukaan Tn. Michael Jordan tersebut. Aku mencoba berpikir untuk mencari tambahan anggota yang tepat. Hingga bola lampu di kepalaku pecah dan mengatakan untuk mengajak dia masuk tim ini, dan tidak aku sangka ternyata dia bersedia. Kala itu, ada dua hal yang sungguh menjadi bara semangat untuk wanita tomboy sepertiku yakni, aku bisa lebih dekat dengan sosok abang berambut keriting yang amat mahir mempermainkan bola basket. Telah lebih dari sepuluh tahun aku mengenal, menyukai, bahkan memendam rasa cinta yang takut untuk ‘ku ungkapkan. Itu adalah hal yang pertama. Hal yang kedua adalah saat mataku bebas  menyaksikan si dia berantusias melatih kedua tangan dan gerakannya untuk bermain basket. Walau aku tahu, ini bukan bidangnya, namun aku salut atas keinginannya untuk mencoba hal baru.
Beberapa hari setelah latihan basket dengan tim baru tersebut, aku mencoba untuk mengungkapkan rasa sukaku padanya yang sesungguhnya hanya berawal dari rasa jahil yang diperintah oleh otak kananku. Saat itu aku tengah menyetrika setumpuk kain di rumah sembari mengirim beberapa sms padanya. Namun untunglah setengah dari pemikiranku memastikan bahwa ini hanya percobaan yang belum tentu hasilnya sesuai dengan rasa penasaranku untuk merasakan apa pacaran itu sesungguhnya seperti yang dimiliki para client ku. Ternyata ia mengaku bahwa ia telah memiliki seorang pujaan hati. Ia deskripsikan perempuan itu padaku, dan aku percaya . Karena pribadiku yang masih lugu mengatakan adalah hal yang wajar jika ia telah mempunyai pacar. Beribu-ribu syukur yang justru aku rasakan saat ia menolakku karena, ini adalah cerita kenekatan dan rasa penasaranku untuk mengesampingkan perintah orangtua ku untuk tidak boleh berpacaran. Forgive me my parents. Anak kalian ini terlalu berani seperti nama seorang raja yang diwariskan untuk dirinya.
Beberapa hari kemudian di suatu malam (9/8), ia mengirim pesan singkat untuk menanyakan rasa sukaku yang pernah ‘ku ceritakan padanya. Aku terkejut dan heran. Walaupun ia telah menjelaskan bahwa ia telah memutuskan pacarnya, aku tetap tidak yakin akan keseriusannya ini untuk menawarkan pacaran dengannya karena, semuanya hanya berselang tiga hari pasca aku menyatakan rasa sukaku. Akhinya aku mencoba untuk menerima.  Was it solid decision that I had to answer?  Because this relationship was just needed to be Secret, he said. But Why ?. Aku pun tak tahu saat itu. Kalimat pertama yang ‘ku terima darinya (sebagai pacar) sebelum aku tidur adalah “jangan lupa berd0a ! I l0ve y0u !”. Actually it was so fast you said that you loved me, Boy.
Paginya aku langsung bercerita pada mamaku bahwa aku telah menerima seorang laki-laki untuk menjadi pacarku tepat di usiaku 17 tahun. Mama terkejut dan marah. Bagi perasaan lugu dan egoisku, ini adalah tidak adil, karena aku pun belum pernah merasakan bagaimana menjalin hubungan dengan lawan jenisku. Sebab selama itu aku menolak cinta beberapa teman laki-laki ku dan memendam rasa sukaku pada beberapa laki-laki demi taat dengan orangtuaku. Mama tetap pada pendiriannya, begitu juga aku. Forgive me
Pada hari kamis (15/08), aku memintanya untuk menemaniku membeli tikar. Surprisingly cause it was really the 1st date that I have had. He could and we went. Tapi lihatlah, aku pemalu, aku gugup, dan sulit mengendalikan karakterku yang sebenarnya saat berjalan dengannya. Oh mine. Denyut jantungku bagai menjadi TKP dadakan oleh defibrillator tercanggih di abad ini.
For the next day, dia mengatakan bahwa ia sedang sakit demam. Aku ingin sekali menjenguknya, tetapi aku tidak mendapat kesempatan yang bisa membawaku melihatnya. Aku terus berusaha menghubunginya di malam saat ia masih sakit, namun tidak kunjung direspon. Aku berpikir barangkali ada kesalahan yang aku lakukan hingga ia enggan meresponku. Esoknya aku mencurahkan isi hatiku pada teman laki-lakiku atas permasalahan kecil itu. Namun besoknya ia justru memutuskan satu perasaan yang telah tumbuh di hati kecilku tanpa aku tahu penyebab konkret dan abstraknya. Aku tertegun saat menerima hal itu. Should it be me? Even I didn’t understand.
            Suatu hari aku melihat media social (FB) miliknya yang masih berstastuskan in relationship dengan perempuan yang pernah ia ceritakan padaku saat aku menyetrika kain. Maksudku saat ‘ku nyatakan rasa kagum ku padanya. Aku justru tersenyum dan tertunduk menyesal atas hubungan kami saat itu. Apakah perasaanku hanya bagai grid permainan baginya?. Aku tidak mengerti. Pernah di suatu malam aku menangis membaca beberapa pesan singkatnya yang masih tersimpan di telepon genggamku. Kemudian aku bagikan tangisku ini pada Bebe yang memang turut sedih melihat kenyataan yang harus aku hadapi.
“Be, baru dua minggu Melin disejukkan oleh kata-kata cinta dan kasih sayang, namun kenapa tidak boleh Melin rasakan itu terus-menerus?. Melin tahu, hanya kamulah yang akan tetap setia dan dari kamulah Melin mengerti kehangatan dan kasih sayang yang tulus itu, tapi Melin ingin sekali dia mengerti apa yang Melin rasa dan taruhkan pada dia. Malam ini izinkanlah Melin lalui malam yang panjang bersama sandaranmu untuk  melepas sesak ini, Bebe”.
Kurang lebih sebulan kemudian ia datang kembali dengan sebuah pesan singkat yang sengaja lama untukku reply (2/10), karena masih terukir rasa sakit itu. Namun dengan mudahnya aku menerima kembali cinta monyet itu untuk bersemi lagi dan memberi celah di hati buat dia. Aku terima permintaan maafnya dan bersedia melanjutkan kisah cinta remaja itu. Aku tertegun . “Masakan ini jawaban dari pengaduan dan tangisku malam itu?”. Mudah saja bagiku. Aku pun heran mengapa aku bisa semudah itu. Padahal teman-temanku telah melarang menerimanya lagi dan mama pun telah tahu hubungan kami telah pernah berakhir.
Seperti Galih dan Ratna cerita ini dibukukan lagi. Kami bermain, belajar, berkumpul, dan bercerita bersama. Semakin saling mengenal, mendukung, hingga akhirnya teman seangkatan mengetahui bahwa kami tengah menjalin hubungan. Mencintainya adalah hal yang mudah bagiku.
            Suatu hari di bulan Desember, sekolahku mengadakan acara akhir tahunan yang disebut dengan Bir Kurtanci Doǧumu of Bebe. It’s one of the greatest days under the earth. Sungguh menjadi kesukaan besar untukku terlebih saat aku ditakdirkan satu tim kepanitiaan dengannya untuk acara tersebut. Aku bangga ada di sampingnya dan mendukungnya. Seorang Ronald P.S benar-benar menjadi saksi cinta remaja itu. My step lovely brother. Di malam acara itu, beliau berpesan padanya untuk menjagaku. Begitu haru sanubariku mendengar kalimat itu dan menyaksikan jawabannya yang berkata ‘iya, Bang’. Even I don’t believe that I had ever felt those all. Di malam itu, ia menggenggam tangan kiri ku dan mengatakan isi hatinya. ‘Ku rasakan kehangatan di balik telapak tangannya yang selalu lembab. “Inikah rasanya cinta? “ (Tanyaku dalam hati).
            Beberapa hari kemudian adalah pengumuman juara umum dan pembagian rapor. Aku bersyukur karena aku bisa mempertahankan juara umum itu. Sekali lagi aku haru melihat ia maju dan memotret kegembiraan ‘ku menerima gelar itu di hadapan mamaku, guru-guru, dan teman-temanku. Namun di hari itu, ia mengatakan bahwa ibunya menghendaki agar hubungan kami berakhir karena peringkat juaranya yang justru menurun. Barangkali titik berat penyebabnya memang hubungan kami. Namun bukankah tak baik apabila “cinta” dan “kasih” yang hadir itu yang disalahkan?. Berjalan dengan apa adanya, itulah yang kami lakukan. Stay to be loved and loved.
            #And on my eighteen birthday …*kaya lagu Katy Perry aja. Ia memberikan ‘ku kejutan yang sungguh berarti dan layak untuk selalu ‘ku kenang. Berdegup jantungku saat membuka sekotak hadiah besar darinya setelah menerima kejutan trik dan permainan. Ternyata ia menghadiahi ‘ku sebuah bola basket dengan merk favoritku dan sebuah photo kami berdua yang dipotret oleh temanku, Tio saat acara Doǧumu waktu itu. Pada bola itu, ia menuliskan ‘remember me’. Malam itu ia menyalami beberapa anggota keluargaku termasuk kedua orangtuaku. Senyumnya terlihat lega menganga, dan kedua bola matanya yang selalu membuatku tertunduk malu jika bertemu mata itu terlihat sangat teduh.
Tidak sedikit memang masalah dan perseteruan yang kami rangkai. Kebimbangan, kesedihan, kesukaan, keharuan, dll. Menjadi nano-nano yang penuh memori. Hingga suatu hari, tepatnya setahun yang lalu saat dia juga berulang tahun. Sebuah kejutan kecil dariku untuknya kembali membuka lembar kenangan buat aku. Tapi aku menyesal berbohong dan mengerjai dia. Meskipun ‘ku rasa itu baik untuk saat itu, namun dari ulah jahilku itu aku tahu bahwa dia memang pribadi yang jujur dan bersahabat.
Hari demi hari berlalu hingga di suatu siang tiba-tiba aku dipanggil oleh pihak akademik sekolah ke ruang kesiswaan karena sekolah kami sedang dikunjungi oleh pihak jurnalis dari sebuah surat kabar daerah. Di saat itu aku sedang fokus mengikuti pelajaran Antropologi di kelas bahasa. Dengan segala ketidakpercayaanku mereka hendak mewawancaraiku terang-terangan di hadapan para majelis guru.
“Aduh.. apakah aku telah membuat kesalahan besar oh Bebe.. Mengapa namaku disebut-sebut oleh wartawan itu.. ”( kataku dalam hati sambil memastikan nama panjangku dan terus melanjutkan langkah menuju ruang kesiswaan). Bagai mendapat bintang di siang hari, aku sungguh tidak percaya ternyata mereka ingin mewawancarai profil dan prestasiku yang terbilang amat baik oleh guru-guruku. Ingin rasanya aku menangis dan berteriak sekencang-kencangnya dan berkata pada mama,
“Maaa… Boru siakanganmu masuk koran lagi mama!!!” (Siakangan berasal dari bahasa Batak Toba yang berarti, anak yang pertama). Sungguh kejadian yang ‘ku alami saat itu membuat kesukaan dan syukurku bertambah, terlebih saat aku mengetahui bahwa setelah surat kabar itu terbit, ia langsung memberitahu ibunya. Sejak saat itu, ibunya telah bisa menunjukkan tawa dan senyum yang tulus setiap ia bercerita tentang hubungan kami.
Beberapa hari kemudian setelah ia berwisata ke luar kota bersama teman-temannya, kami bertemu dan bermain monopoli di rumah salah seorang sahabat .Di sana aku mulai belajar menganggapnya sebagai teman. Usai bermain, aku tidak menyangka bahwa ia memberi ‘ku satu cincin yang mengukirkan nama kami. Ternyata sepasang cincin itu sengaja ia persiapkan dari luar kota untuk menyatakan rasa cintanya lagi. Namun aku justru sedih mendapati ini karena, aku terlanjur bercerita dengan kedua orangtuaku atas apa yang telah ia putuskan terhadap perasaanku. Kedua orangtuaku menjadi tidak begitu menyukainya lagi. ‘Ku ceritakan padanya apa yang telah dikatakan oleh kedua orangtuaku, dan betapa kedua orangtuaku menyayangkan apa yang telah ia putuskan. Ia tetap tidak mengurung niatnya , ia berkata bahwa ia sungguh menyesal dan ingin memperbaiki yang telah lalu.
            Tinta-tinta di pantai lokal sungguh berkenang indah di ingatanku. ‘Ku berharap ia masih menyimpan potret kami yang ‘ku berikan dulu saat kami bersama saksi-saksi kecil lain mengukir hari di sawah ladang dan pinggiran sungai yang teduh. Pagi itu kami menelusuri pinggiran sungai yang tadinya airnya masih pasang dan  ranting-ranting pohon mengambang jelas di permukaannya. 

Namun di sore hari, airnya turun dan seolah membentuk pantai licin (sebenarnya air sungai yang sedang surut sih) yang cukup teduh dipandangi.
Hari demi hari berlalu, kami kembali merajut kisah kasih kami. Hingga suatu hari ada kesempatan bagiku untuk membawanya turut berada di rumah untuk bermain monopoli. Usai bermain ia justru dengan asyiknya mengobrol dengan nenek. Aku sungguh senang, meski saat itu aku tak begitu paham apa yang sebenarnya mereka perbincangkan. Tidak lama kemudian kedua orangtuaku pulang dan menyaksikan mereka mengobrol. Aliran darahku terasa cepat mengalir. Takut kalau-kalau kedua orangtua ku marah dan menghasilkan perjanjian Versailles kedua. Tapi lagi-lagi aku tak percaya, ia dengan berani menghampiri mereka dan menyalami mereka, persis seperti yang ia katakan saat acara perpisahan di sekolah waktu itu. Sejak saat itu, hubungan kami semakin membaik sebab keluargaku pun mulai dekat dengannya. Terlebih saat ia bersedia datang ke rumahku untuk mengajariku soal-soal untuk persiapan masuk perguruan tinggi. Terkadang sampai malam ia bersamaku demi persiapan kami untuk tes nanti. Orangtuaku sangat suka, senang, bahkan mungkin telah membuat mereka lupa atas tindakannya dulu yang memutuskan hubungan kami. Ia berani memperbaiki yang salah di antara kami dan berhasil merubah pemikiran kedua orangtuaku yang sempat buruk tentangnya.
Saat  Tuhan memutuskan aku untuk lulus di sebuah perguruan tinggi di Bandung,
telah menjadi santapan asam manis yang ‘ku dapati. Aku tahu ia sungguh sedih aku harus berada di sini. Melanjutkan hubungan dengan kota, provinsi, dan pulau yang berbeda. Sungguh semoga ini rencana Tuhan yang nyata dan tak terkira untuk kami lalui. Keesokan harinya usai pengumuman hasil SNMPTN, ia ke rumah menemuiku. Kami mencurahkan ungkapan hati kami sebagai dongeng yang laris di musim gugur. Ungkapan hati yang pasrah dan merasa seperti akan dipisahkan dengan cangkang yang kuat oleh pasir-pasir beku di sekelilingnya. Ingin rasanya air mata ini terurai deras mengiringi kengerian dan ketidaksiapanku meninggalkannya jauh ke negeri orang. Namun aku berusaha melukiskan senyumku yang tulus di depan sosok itu. Seketika itu, Ia mencium pipi kananku yang lekas memerah. Aku terdiam mencoba menahan  air mataku. Namun, reaksi emosi yang bergejolak menghadapi perpisahan itu tidak sengaja disaksikan oleh Voldemort kecilku yang jahil. Ia langsung meminta suara hendak berkoalisi dengan sang mama untuk bertindak atas kelanjutan hubungan kami.
Malam menjelang episode terakhir kisah ini adalah goresan tinta kelabu di buku harianku. Aku berada di persidangan tinggi mahkamah keluargaku.
“Bapak seperti tidak dihargainya. Berani seperti itu ! nanti bagaimana kalau kau di tanah orang ? siapa yang akan memantaumu?. Kau mau kuliah atau putuskan dia sekarang juga ?!!”, tanya sang bapak bersama keputusan speedy-nya dengan geram padaku.
“Tapi Pak, dia bukan bermaksud macam-macam kok. Mengertilah, Pak”,’ku berusaha membela.
“Oh. Gampangnya, Nak. Pergilah sama dia. Tinggalkan rumah ini !”, sahut bapakku tersayang yang semakin macho dengan amarahnya.
“Maafkanlah aku Bapak.. aku nggak mau, dan tekadku keras untuk merasakan kuliah pak”, jawabku yang mulai dipenuhi isak tangis.
“Kalau gitu, ini hp. Telepon dia, dan bilang putus !”
Setelah itu, ‘ku raih telepon genggam milikku tersebut dengan tangan mengigil dan hidung tersumbat. Semakin tak kuat aku mendengar kalimat demi kalimat yang terucap spontan darinya kala ‘ku ucap kata putus. Memang sebelum persidangan ini, kami masing-masing berdoa dengan sunggguh agar sekiranya tidak terjadi hal-hal yang di luar dugaan kami. Saat itu, ia sungguh tidak pernah percaya akan apa yang menjadi akibat dari keluguan kami. Aku tidak tahu bagaimana mungkin ini harus tersurat perih di lembar pengalaman kisah cintaku. Namun bukanlah suatu kebetulan, bahwa sebelum aku menerima kenyataan pahit dari keluargaku itu, aku dan dia telah menghaturkan janji yang menjadi pegangan kami untuk kelak menghasilkan buah dari bunga-bunga rasa tulus .
“So, close your eyes dear..
Pull your breath and feel my hands on your right now...
So Happy 19th birthday…
Forgive me I can’t give you anything best like you have ever given to me,.
But let me say that you are the man whom I can love and loves me simply and merrily
I understand the love, hurt, hope, and miss with a man for the 1st time are from you one. I am still like the first you knew me.”
Jatinangor, 2 Maret 2012
                                                                                                                     Pukul : 01.40 WIB
                     “Cerita dari 021010 ( 1.5 years) untuk dikenang di hari ini pada 25 Maret 2012”.
Itulah lembar demi lembar nafas ingatanku yang ‘ku kirim sebagai hadiah kecil untuk dibaca dan dihirup oleh dia yang ada di sana bersama Bebe. Aku menang dan menangis sekarang bukan untuk aku lagi. Tapi untuk kita dan mereka. Dan aku tidak tahu apakah setiap helai keajaiban ini akan diizinkan berlaku untuk buku tahun-tahun mendatang. Bebe knows.
                                                           

Kommentare

Kommentar veröffentlichen

Beliebte Posts aus diesem Blog

“Pergeseran perspektif dan budaya pada perkawinan adat Batak zaman sekarang khususnya di kota-kota besar”

     BAB I Pendahuluan I.1        Latar Belakang Perkawinan adalah sumbu tempat berputar seluruh hidup kemasyarakatan (Geurtjens dalam ‘Uit een vreemde wereld). Kebanyakan orang senantiasa menaruh perhatian yang besar terhadap hal-hal perkawinan sehingga perkawinan dalam beberapa suku terutama di Indonesia membuat perhelatan perkawinan yang beriringan dengan pelaksanaan adat dari suku itu sendiri. Perkawinan adat Batak Toba contohnya. Perkawinan adat Batak Toba telah mendapat stereotip atau perspektif sendiri dari kalangan masyarakat suku Batak itu sendiri maupun masyarakat suku lain, bahwa perkawinan adat Batak terkenal dengan pesta adatnya yang cukup lama dan rumit Beranjak dari tradisi upacara Batak tersebut, saya mengangkat penelitian pergeseran kebudayaan pada perkawinan adat batak Toba saat ini. Beberapa hari yang lalu tepatnya tanggal 14 Desember 2013 saya menghadiri sebuah perhelatan perkawinan adat Batak Toba di dae...

… do it all for the glory of…me?

  What is the first thing we think and do when we wake up in the morning? What do we desire the most? What worries us the most? What is our greatest fear? What makes us very sad? What makes us very happy? All the questions above can help us find out who or what we worship every day. For we humans are worshipping beings. There is always something we desire the most. Either ourselves, our money, our career, our study, or even our relationship with another human. All these temporal things fill our lives every day. Well is it wrong to do this stuff? No. We may and must do that, even anything! But...  “I have the right to do anything,” you say—but not everything is beneficial.  “I have the right to do anything”—but not everything is constructive”                                                          ...

Is there any light in the darkest valley?

It was Sunday and quite cloudy. It was still 4:30 p.m. but already getting dark.   I decided to go for a walk to get some fresh air, hoping that my cold and headache would get better. At first, I wasn't so sure to do that, because it started to windy too. 80% could be rained on in a few minutes, and still, I kept going outside. After that scar on August 2021, I avoid listening to music while I walk. Instead, I prefer listening to podcasts. This helped me at least to stop focusing on the pain. The sermons keep "cleansing" and "preparing" me for everything ahead, including His plan in this uncertain world. And I am very thankful for that.  The podcast I listened was the very first Arche Jugend podcast this year. It was about the grace of God in connection with His justice (Psalm 103). One of the messages was: *"Imagine standing alone before a hungry lion with no weapons or anything to save you from it. You will become directly afraid of being attacked and eat...