Direkt zum Hauptbereich

“Pergeseran perspektif dan budaya pada perkawinan adat Batak zaman sekarang khususnya di kota-kota besar”

     BAB I
Pendahuluan

I.1        Latar Belakang

Perkawinan adalah sumbu tempat berputar seluruh hidup kemasyarakatan (Geurtjens dalam ‘Uit een vreemde wereld). Kebanyakan orang senantiasa menaruh perhatian yang besar terhadap hal-hal perkawinan sehingga perkawinan dalam beberapa suku terutama di Indonesia membuat perhelatan perkawinan yang beriringan dengan pelaksanaan adat dari suku itu sendiri. Perkawinan adat Batak Toba contohnya. Perkawinan adat Batak Toba telah mendapat stereotip atau perspektif sendiri dari kalangan masyarakat suku Batak itu sendiri maupun masyarakat suku lain, bahwa perkawinan adat Batak terkenal dengan pesta adatnya yang cukup lama dan rumit
Beranjak dari tradisi upacara Batak tersebut, saya mengangkat penelitian pergeseran kebudayaan pada perkawinan adat batak Toba saat ini. Beberapa hari yang lalu tepatnya tanggal 14 Desember 2013 saya menghadiri sebuah perhelatan perkawinan adat Batak Toba di daerah Jakarta Pusat, yakni di Gedung Mulya. Gedung ini terbilang mewah dan elegan untuk pesta-pesta pernikahan di Jakarta. Upacara perkawinan saat itu begitu ramai padat dihadiri oleh banyak keluarga dan rekan dari berbagai agama, latar belakang, dan etnis. Perhelatan ini merupakan salah satu cermin upacara perkawinan adat Batak Toba di kawasan metropolitan. Ada beberapa perbedaan yang saya perhatikan dalam perhelatan upacara tersebut, yakni dekorasi di panggung tempat pelaminan yang sudah tidak lagi mengangkat tema rumah Bolon dan khasanah budaya Batak yang masih terdapat di pelaksanaan perkawinan adat Batak Toba di daerah tempat saya lahir, Pekanbaru. Perbedaan berikutnya adalah penyajian makanan-makanan bagi para tamu undangan yang sudah lebih bervariasi dan mengikuti ciri khas makanan daerah lain, misalnya stand untuk Bakso Malang, Siomay Bandung, dan Zuppa Soup Italia.
Dua perbedaan tersebut masih merupakan sebagian perubahan atau pergeseran kebudayaan dalam upacara perkawinan Batak di era globalisasi ini. Proses defusi adat, berupa perkawinan campuran adat antar etnis, suku, dan pengaruh globalisasi lambat laun telah mengikis kebudayaan atau tradisi khas Batak itu sendiri dalam hal upacara perkawinan. Oleh karena itu saya ingin mengkaji hal-hal apa saja yang menjadi faktor berkurang bahkan berubahnya beberapa ciri khas tradisi perkawinan Batak Toba dan solusi berupa saran yang diperkirakan dapat mengatasi permasalahan budaya ini.
I.II       Rumusan Masalah
Berikut adalah beberapa rumusan masalah yang dapat dirangkai dalam mengkaji dan meneliti fenomena pergeseran budaya pada perkawinan adat Batak Toba di kota-kota besar, antara lain ;
1.      Gambaran tradisi upacara perkawinan adat Batak Toba.
2.      Perbandingan yang diamati antara pelaksanaan upacara adat Batak Toba dulu dan sekarang, khususnya di kota-kota besar di Indonesia dan peran media masa merespon hal tersebut.
3.      Faktor-faktor yang menjadi penyebab pergeseran upacara perkawinan adat Batak Toba di kota besar.
I.III     Tujuan
Berdasarkan beberapa latar belakang dan alasan penulisan makalah ini, saya ingin mengkaji faktor-faktor yang menjadi penyebab adanya pegeseran budaya pada upacara adat Batak Toba di kota-kota besar, meneliti seberapa jauh peran media massa dalam menanggapi hal ini, dan berusaha memberikan solusi terapan yang berpotensi untuk mengurangi dan mengatasi salah satu fenomena postmodern ini di kalangan pendidikan dan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat suku Batak Toba.

I.IV     Landasan Teori
Dalam pelaksanaan pengkajian pergeseran budaya ini, saya menggunakan beberapa teori yang berkaitan dengan pergeseran budaya yang terjadi, antara lain ;
1.       Sejarah pemikiran dan kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip modernitas selanjutnya merasuk ke berbagai bidang kehidupan. Seni modern hadir sebagai kekuatan emansipatoris yang menghantar manusia pada realitas baru. (Awuy, 1995: 41).
2.      Ideologi adalah bagian dari superstruktur yang sangat dipengaruhi oleh basicstruktur (ekonomi). Jadi, kesadaran sangat dipengaruhi oleh posisi kelas dalam struktur ekonomi (Karl Marx)
3.      Ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi atau reproduksi semuanya lebur menjadi satu dalam silang-sengkarut tanda (Jean Baudrillard)
4.      Postmodernisme mencoba mempertanyakan kembali posisi, batas dan implikasi asumsi-asumsi modernisme yang kini telah menjelma menjadi mitos baru. Realitas kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya dengan realitas kebudayaan modern masyarakat di kota-kota besar. Inilah kebudayaan postmodern yang memiliki ciri-ciri hiperrealitas, simulacra dan simulasi, serta didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. (Jean Baudrillard)

                                                                           BAB II
Isi dan Pembahasan

II. 1     Tradisi perkawinan adat Batak Toba
Sejak dahulu kala etnis Batak Toba sangat setia melaksanakan upacara adat dalam berbagai kegiatan. Adat sebagai bahagian dari kebudayaan elemen untuk mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan merupakan identitas budaya dalam khasanah kebhinekaan di Indonesia. Pada dasarnya adat di dalam implementasinya berfungsi menciptakan dan memelihara keteraturan, ketentuan-ketentuan adat dalam jaringan hubungan sosial diadakan untuk menciptakan keteraturan, sehingga tercapai harmonisasi hubungan secara horizontal sesama warga dan hubungan vertikal kepada Tuhan. Dengan demikian adat adalah aturan hukum yang mengatur kehidupan manusia sehingga bisa menciptakan keteraturan, ketentraman dan keharmonisan (Prof DR B Simanjuntak, 2001).
Perkawinan adat Batak Toba selalu menyangkut aspek ekonomi dengan segala macam kepentingan di dalamnya, termasuk dalam hal perencanaan pesta perkawinan yang akan dilaksanakan. Peranan dasar aspek ekonomi ini, misalnya, tampak jelas dalam menetapkan jumlah uang, pembayaran, pengembalian pembayaran: harga pengantin (sinamot), pembayaran para pelayanan pengantin selama upacara perkawinan berlangsung, dan seterusnya.
Konsep “pembayaran” dalam perkawinan adat Batak Toba mencakup “pembayaran” oleh pihak pengantin laki-laki atau kerabatnya kepada ayah atau pemelihara pengantin wanita. Pembayaran ini bahkan merupakan bagian utama dari pengesahan perkawinan menurut adat Batak Toba. Bila pertukaran ini sudah sudah terpenuhi, maka perkawinan itu menjadi sah dan keluarga yang baru itu sudah mandiri, artinya pengesahan suatu perkawinan mencakup seluruh rangkaian “prestasi” : suatu tindakan membayar apa yang dituntut adat / tuntutan adat untuk membayar sesuatu yang berasal dari usaha atau kemampuan seseorang. Pertimbangannya adalah jika keluarga, desa, atau suku tertentu kehilangan anggota-anggotanya yang produktif (laki-laki atau perempuan yang akan menikah), sedikitnya haruslah memperoleh “imbalan” dari pihak yang “mendapatkan” mereka. Dalam upacara perkawinan adat Batak Toba, hal ini dijelaskan dalam tindakan simbolik pembagian makanan, pakaian, perhiasan, dan diatas semuanya itu banyak tata cara yang mencakup “uang tebusan”.
II. 2     Perbandingan antara pelaksanaan upacara adat Batak Toba dulu dan sekarang, khususnya di kota-kota besar di Indonesia dan peran media masa merespon hal tersebut.
Pelaksanaan upacara adat Batak Toba di kota-kota yang masih berkembang belum begitu terdapat perbedaan yang signifikan dengan pelaksanaannya berpuluh tahun silam. Pembedanya yang paling konkret adalah variasi alat musik pengiring tari-tarian dan lagu pengantar pelaminan dan gedung tempat perhelatan upacaranya sudah berada di ruangan tertutup dan besar, terlebih cenderung menggunakan gedung luas dan memiliki panggung sebagai tempat pelaminan pengantin. Dalam hal penyajian makanan pun masih begitu khas dan menjaga kekuatan adat Batak meskipun berbaur dengan lingkungan suku-suku lainnya. Di daerah Rumbai, Pekanbaru misalnya. Meskipun daerah ini sangat kaya dan kental dengan budaya melayu-nya, pelaksanaan perhelatan perkawinan adat Bataknya masih orisinil terutama dalam hal penyajian makanan untuk rekan dan kerabat yang berasal dari suku dan ras di luar Batak, artinya tidak adanya pengaruh penyajian masakan dari daerah lain bahkan negara lain. Selain itu dekorasi pada pelaminan pengantin masih menggunakan atap rumah Bolon dan corak-corak Batak seperti yang ada di bangunan-bangunan di pinggir danau Toba dan sekitarnya. Hal ini dapat diteliti melalui hasil pemikiran Awuy yakni sejarah pemikiran dan kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip modernitas selanjutnya merasuk ke berbagai bidang kehidupan.
Beberapa ciri khas dari perhelatan upacara adat Batak Toba di daerah tersebut justru saat ini semakin menunjukkan ketidak asliannya di beberapa tempat di kota-kota besar khususnya DKI Jakarta. Seperti contoh upacara adat perkawinan Batak Toba di Gedung Mulya beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 14 Desember 2013. Dekorasi pelaminan yang sudah tidak lagi menggunakan corak Batak Toba, melainkan pola dekorasi yang kebarat-baratan. Kemudian penyajian masakan untuk para tamu dari suku dan ras lain yang justru mengikuti ciri khas makanan dari suku-suku para tamu. Misalnya menyajikan Bakso Malang dan Siomay Bandung, bahkan zuppa soup yang adalah makanan khas dari Italia. Selain itu penyewaan mobil mewah untuk transportasi pengantin yang cenderung meniru pola pernikahan kebarat-baratan atau westernisme. Gedung Mulya sendiri telah menjadi penanda taraf sosial dan ekonomi keluarga dari kedua belah pihak. Ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi atau reproduksi semuanya lebur menjadi satu dalam silang-sengkarut tanda (Jean Baudrillard).
Media massa khususnya Koran-koran Batak seperti Horas sebaiknya memberikan beberapa halaman untuk mengangkat kembali citra dan budaya Batak yang asli di kalangan para pembaca Koran tersebut. Selain itu sebaiknya tidak hanya mempublikasikan adanya perhelatan upacara adat yang besar dan mewah untuk memperbaiki perspektif masyarakat suku Batak atas kesakralan dan tujuan utama dari upacara perkawinan adat Batak itu sendiri.
II. 3     Faktor-faktor yang menjadi penyebab pergeseran upacara perkawinan adat Batak Toba di kota besar.
Pada saat sekarang ini dalam setiap pelaksanaan adat Batak Toba seringkali terjadi ketegangan, perbedaan pendapat walaupun jarang yang menimbulkan konflik. Mengapa hal ini bisa terjadi? Banyak hal yang dapat menjadi penyebabnya, antara lain, faktor agama, kemajemukan asal dan etnis dalam suatu daerah, defusi adat yaitu percampuran adat antar etnis misalnya perkawinan berlainan suku, pengaruh era globalisasi dan lain-lain. Faktor-faktor inilah menyebabkan pergeseran pelaksanaan tata upacara adat Batak Toba pada saat sekarang. Dalam pelaksanaannya, khususnya di kota-kota besar juga telah terdapat perbedaan fungsi perhelatan upacara adat tersebut. Pada kenyataannya saat ini perhelatan upacara adat perkawinan tersebut dijadikan sebagai ajang penunjuk prestise dan penentu taraf kehidupan social dan ekonomi sebuah keluarga, sehingga beberapa masyarakat Batak di daerah kota-kota besar seperti Jakarta berlomba-lomba untuk memprioritaskan penanda (gedung pernikahan) sebagai penentu taraf kehidupan keluarga tertentu. Selain itu, dekorasi pada pelaminan yang tidak lagi berciri khas adat Batak, serta penjemputan pengantin menggunakan mobil mewah yang menjadi cermin westernisasi. (Bnd. Landasan teori nomor empat)
Pengelompokan pergeseran adat itu dalam tiga bagian dan diimplementasikan oleh DR AB Sinaga dalam tiga species dalam pelaksanaan adat tersebut yaitu, Adat Inti, Adat na Taradat, dan Adat na Niadathon. Dalam perkembangan tata upacara adat Batak Toba pada saat sekarang muncul 1 (satu) spesies lagi yaitu Adat na Soadat. (Raja Patik Tampubolon)
Untuk menghindari ketegangan dan beda pendapat kita harus mengetahui dan semufakat bahagian adat manakah yang akan dilaksanakan dalam suatu upacara adat dari ke 4 (empat) spesies upacara adat.
1. Adat Inti
Adat Inti mutlak harus dituruti dan dilaksanakan sebagai undang-undang, adat dan hukum dalam kehidupan, seperti yang ditegaskan dalam ungkapan berikut :
Adat do ugari
Sinihathon ni Mulajadi
Siradotan manipat ari
Siulahonon di siulu balang ari
artinya :
Adat adalah aturan yang ditetapkan oleh Tuhan Pencipta, yang harus dituruti sepanjang hari dan tampak dalam kehidupan (Simanjuntak, 1966).
Harus diakui bahwa adat dilakukan pada saat sekarang oleh masyarakat Batak Toba adalah mengacu pada Adat Inti, walaupun secara empirik tata cara Adat Inti ini tidak pernah lagi dilaksanakan secara utuh. Sifat adat inti adalah “primer” dalam arti mendahului dan konsitutif terhadap yang lain yang mengemban muatan etis normatif dan kemutlakan serta konservatif (tidak berubah). Pelaksanaan Adat Inti tidak boleh dimufakati untuk mengobahnya dalam upacara adat karena terikat dengan norma dan aturan yang diturunkan oleh Mula Jadi Nabolon (sebelum agama mempengaruhi sikap etnis Batak Toba terhadap upacara adat).
Karena adat inti ini mutlak dan konservatif serta mengemban muatan etis normatif pelaksanaannya tidak bisa diobah. Misalnya, acara adat sari matua tidak bisa diobah menjadi acara adat saur matua dan lain-lain. Menurut RP Tampubolon menuruti atau melanggar adat inti sebagai undang-undang (patik) dan hukum (uhum) adalah soal hidup atau mati, melanggar dan mengobahnya adalah dosa berat yang mengakibatkan kebinasaan.
Dengan uraian tentang Adat Inti di atas maka kita pada saat sekarang yang masih setia melaksanakan upacara adat, kita tidak mungkin lagi (tidak mampu) melaksanakannya sesuai dengan iman berdasarkan agama yang kita anut dan inilah merupakan pergeseran pelaksanaan adat yang kita laksanakan.
2. Adat Na Taradat
              Secara harafiah, adat na taradat adalah undang-undang dan kelaziman yang berupa adat. Adat itu menyatakan istiadat yang oleh suatu persekutuan desa, atau tempat tinggal di daerah perantauan dan juga oleh agama diubah dan dimasukkan menjadi suatu kelaziman atau kebiasaan yang boleh disebutkan adat yang dimufakati oleh warga-warga masyarakat.
Ciri khas dari adat na taradat ini adalah pragmatisme dan fleksibilitas boleh jadi dilaksanakan berdasarkan sistematika adat inti. Dalam spesies adat kedua ini pelaksanaan adat demikian akomodatif dan lugas untuk menerima pengaruh daerah manapun asal dapat beradaptasi dengan acuan adat inti. Perpaduan fleksibilitas dan fragmatis menjadikan adat luput dari kekakuan dan kegamangan oleh adat inti yang stagnasi dan konservatisme.
Adat na taradat ini bersifat adaptatif dan menerima pergeseran dari adat inti dan bahagian adat inilah yang dilaksanakan oleh pelaku-pelaku adat Batak Toba pada saat sekarang dengan berpedoman kepada ungkapan folklor Batak Toba.
Tuat ma na di dolok martungkot siala gundi
Napinungka ni ompunta na parjolo
Tapa uli-uli (bukan tai huthon) sian pudi
(Turunlah yang di bukit bertongkat siala gundi, yang sudah dimulai leluhur kita terdahulu kita perbaiki dari belakang). Artinya adat istiadat yang sudah diciptakan dan diturunkan nenek moyang kita terdahulu kita ikuti sambil diperbaiki (disesuaikan) dari belakang.
Oleh karena permufakatan untuk pergeseran pelaksanaan adat itu, hampir pada semua upacara adat Batak Toba terjadi perubahan. Misalnya pada upacara perkawinan, sistematika atau urut-urutan tata cara perkawinan sering tidak dilaksanakan lagi mulai dari, marhori-hori dinding, marhusip, marhata sinamot, sibuha-buhai, mangan juhut, paulak une, maningkir tangga.
Secara garis besar demikianlah sistematika pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba pada adat inti. Namun pada saat sekarang dengan permufakatan banyak yang diobah antara lain, marhori-hori dinding, tidak lagi suatu keharusan dilaksanakan. Marhusip yang biasa tidak dihadiri orang tua si anak yang akan dikawinkan, pada saat sekarang justru orang tua si anak yang akan dikawinkan itulah yang memegang peranan dalam acara marhusip, marhata sinamot hanyalah formalitas sekedar mengumumkan apa yang telah dibicarakan pada acara marhusip. Pada acara marhata sinamot ini pun masih ada sandiwara (pura-pura) menetapkan besar sinamot yang akan diberikan. Jumlah ulos yang harus diterima oleh pihak paranak (pengantin laki-laki) tidak jelas acuannya boleh jadi dari 7 (tujuh) helai sampai 800 (baca delapan ratus) helai. Paulak une dan maningkir tangga adalah suatu skenario sandiwara upacara adat dalam permufakatan ulaon sadari (diselesaikan dalam satu hari). Substansi acara adat paulak une dan maningkir tangga tidak diperlukan lagi pada saat sekarang.
Beberapa pergeseran budaya yang telah terjadi pada perhelatan perkawinan adat Batak saat ini khususnya di kota-kota besar telah menarik perhatian para budayawan Batak dan Natua-natua dalam menyikapinya.

                                                               BAB III
Penutup

III.1     Kesimpulan
            Perkawinan adat Batak Toba saat ini khususnya di kota-kota besar telah mengalami beberapa pergeseran budaya dalam pelaksanaan upacara adatnya. Antara lain :
1.      Dekorasi pelaminan yang mencerminkan prinsip westernisasi
2.      Penyajian makanan yang mulai menghilangkan ciri khas masakan Batak untuk para tamu yang berbeda ras dan etnis dengan Batak Toba.
3.      Konsep penyewaan mobil mewah yang mencerminkan prinsip westernisasi
4.      Permufakatan banyak yang diobah antara lain, marhori-hori dinding, tidak lagi suatu keharusan dilaksanakan.
5.      Marhusip yang biasa tidak dihadiri orang tua si anak yang akan dikawinkan, pada saat sekarang justru orang tua si anak yang akan dikawinkan itulah yang memegang peranan dalam acara marhusip.
6.      marhata sinamot hanyalah formalitas sekedar mengumumkan apa yang telah dibicarakan pada acara marhusip, dan lain sebagainya
Yang menjadi faktor terjadinya pergeseran budaya pada perhelatan upacara perkawinan adat Batak antara lain,
1.      Faktor perbedaan agama antara kedua belah pihak
2.      Kemajemukan asal dan etnis dalam suatu daerah,
3.      Terjadinya defusi adat yaitu percampuran adat antar etnis misalnya perkawinan berlainan suku,
4.      Pengaruh era globalisasi
5.      Terjadinya proses postmodern di kalangan suku bangsa Batak
6.      Prestise dan penentu taraf sosial dan ekonomi kedua keluarga.

III.2     Saran
Beberapa solusi yang dapat diterapkan guna mengatasi pergeseran budaya yang terjadi dewasa ini dan mempertahankan ciri khas adat yang asli.
1.      Menjunjung adat Batak sebagai bagian dari kehidupan masyarakat suku Batak.
2.      Mengadakan pagelaran adat Batak Toba di sekolah-sekolah dan universitas yang berisi perkenalan adat Batak termasuk upacara-upacara terkait budaya Batak itu sendiri serta serangkaian penampilan seni dan budaya khas Batak itu sendiri.
3.      Membuat dan mengembangkan UKM untuk mahasiswa yang bersuku Batak di kampus-kampus.
4.      Mulai menghilangkan prinsip westernisme dan hedonisme.
5.      Mempertahankan ciri khas budaya Batak khususnya dalam penjamuan makanan dan tata dekorasi pelaminan pengantin, dan lain sebagainya.

 IV. Daftar Pustaka
TH.Fischer (1980). Pengantar Anthropologi Kebudayaan Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka
Kumpulan teori dari buku Pengantar Ilmu Antropologi oleh Koentjaraningrat
Kumpulan teori dari buku Budaya Indonesia (Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah) oleh Edi Sedyawati.

Kommentare

Beliebte Posts aus diesem Blog

Is there any light in the darkest valley?

It was Sunday and quite cloudy. It was still 4:30 p.m. but already getting dark.   I decided to go for a walk to get some fresh air, hoping that my cold and headache would get better. At first, I wasn't so sure to do that, because it started to windy too. 80% could be rained on in a few minutes, and still, I kept going outside. After that scar on August 2021, I avoid listening to music while I walk. Instead, I prefer listening to podcasts. This helped me at least to stop focusing on the pain. The sermons keep "cleansing" and "preparing" me for everything ahead, including His plan in this uncertain world. And I am very thankful for that.  The podcast I listened was the very first Arche Jugend podcast this year. It was about the grace of God in connection with His justice (Psalm 103). One of the messages was: *"Imagine standing alone before a hungry lion with no weapons or anything to save you from it. You will become directly afraid of being attacked and eat

… do it all for the glory of…me?

  What is the first thing we think and do when we wake up in the morning? What do we desire the most? What worries us the most? What is our greatest fear? What makes us very sad? What makes us very happy? All the questions above can help us find out who or what we worship every day. For we humans are worshipping beings. There is always something we desire the most. Either ourselves, our money, our career, our study, or even our relationship with another human. All these temporal things fill our lives every day. Well is it wrong to do this stuff? No. We may and must do that, even anything! But...  “I have the right to do anything,” you say—but not everything is beneficial.  “I have the right to do anything”—but not everything is constructive”                                                                                                                  1 Corinthians 10, 23 But not everything is beneficial… But not everything is constructive… We need to examine our heart. What

Resilient in Silence: Let Fear Wake You Up.

When fear takes over. When the darkness seems revealing its power. When the sun is not by your side. You feel alone, rejected, unwanted. The fear tries to shut you down. The worries are stealing your hope. It feels like everyone is leaving you, judging you.  Even the person you trust the most does not trust you and choose to leave you. What's left? who are you running to now?  Fear. It is where depression starts. You would not understand what fear is, until you lose something or someone. Money, home, relationship, security, assurance, dignity, comfort, health, work, hope, anything. And you would not understand what fearlessness is until you have ever experienced any fear. Let’s think of Gethsemane for some minutes. Let’s think about the loneliness, the rejection, the fear, the betrayal, and the death, that someone has gone through. Someone, who knows exactly how it feels. Someone, who literally knows you and your pain better than anyone else on this earth. Someone, who love