“Fenomena Pelecehan Seksual Manusia Terhadap Orangutan sebagai Cermin Budaya yang Telah Terdeteritorialisasi”
oleh : Melin F. E. S
Orangutan
adalah salah satu hewan langka di Indonesia yang harus dilestarikan. Keberadaan
orangutan di nusantara saat ini cukup memprihatinkan. Sebagai warga negara yang
baik sudah seharusnyalah kita turut membantu pemerintah dalam menjaga
kelestarian dan kenyamanan habitat mereka. Satu hal yang sangat ironis adalah
keberadaan orangutan yang saat ini tidak hanya dapat dijumpai di suaka marga
satwa, hutan hujan tropis, maupun kebun binatang nasional untuk
dikembangbiakkan dan dipelihara, melainkan juga dapat ditemukan di kawasan prostitusi
manusia.
Gambar di atas adalah seekor orangutan
bernama Pony. Ia adalah orangutan betina yang menjadi objek pemuas hasrat
seksual di lokalisasi di Kerengpangi, kabupaten Katingan, Kalimantan
Tengah.
Berdasarkan informasi dari beberapa sumber, Pony diajari bertingkah layaknya
manusia, bahkan seluruh bulunya dicukur dan tubuhnya diikat di kasur. Alhasil
kulit poni menjadi merah tubuhnya tak berdaya. Selain itu Pony jadi
sering digigit nyamuk dan kulitnya iritasi bahkan berjerawat.
Para pelaku seksual di daerah tersebut cenderung
memilih untuk berhubungan seksual dengan Pony daripada dengan manusia. Menyedihkan
sekali bahwa prostitusi kepada manusia saja sudah dikecam banyak orang, dan ini
terjadi pada hewan.
Proses penyelamatan terhadap Pony justru
tidak dilakukan oleh manusia Indonesia, melainkan seorang asing pecinta
orangutan bernama Michelle Desilets, seorang direktur Organisasi
Penyelamatan Orangutan Borneo. Berdasarkan beberapa informasi, tindakan
penyelamatan ini membutuhkan rentang waktu yang cukup lama, sebab warga lokal
tidak rela membiarkan Pony meninggalkan tempat itu. Para warga bahkan menyerang
dengan menggunakan senjata dan pisau beracun.
Perilaku seksual yang merupakan cermin
kebobrokan nilai moral dan budaya ini, masih sulit diberantas oleh pemerintah
daerah setempat dan kepolisian hingga saat ini, dikarenakan belum adanya UU
yang mengatur hukuman atas tindak kekejaman seksual terhadap hewan.
Perilaku
seksual manusia sebagai makhluk pemilik budaya yakni budi dan akal (bnd.
Pengertian budaya dari bahasa Sansekerta) terhadap orangutan telah
terdeteritorialisasi. Manusia tidak lagi mengutamakan akal pikiran dan hati
nuraninya untuk hidup berdampingan dengan alam dan sekitarnya. Sebuah kebudayaan untuk menghargai keberadaan
dan piskologi hewan dan alam sekitar telah nyaris musnah, dengan kata lain
sudah tidak lagi dipelihara dan dibentuk melalui tata nilai sosial-kemanusiaan,
melainkan justru diperbaharui dari proses pemenuhan nafsu belaka dan komersialisasi.
Beranjak dari teori Pierre Bourdieu, “ 'tindakan' (practice)
atau apa yang secara aktual dilakukan seseorang, merupakan bentukan dari (dan
sekaligus respon terhadap) aturan-aturan dan konvensi-konvensi budaya”. Menurut pendapat saya, aturan dan konvensi
budaya di daerah tersebut telah bobrok dan tidak lagi dianggap sebagai pedoman
masyarakatnya dalam hidup berdampingan dengan alam dan isinya sehingga respon
masyarakat atas kesepakatan budaya dan moral menjadi semakin sulit untuk
ditemukan.
Menurut pendapat saya, fenomena pergeseran budaya
seperti ini sama saja telah melanggar pancasila sila- 1 yang berbunyi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”, karena para pelaku seks telah melakukan penghinaan
terhadap Tuhan YME sebagai sang Pencipta dengan memberdayakan orangutan sebagai
makhluk pemuas nafsu keji mereka.
Berdasarkan informasi yang saya dapatkan, kasus
pelecehan seksual yang dialami Pony masih terus terjadi hingga saat ini.
Pergeseran nilai-nilai moral dan budaya seperti ini masih akan terus terjadi
tanpa batasan waktu apabila pemerintah belum memberikan perhatian konkret
terhadap fenomena ini, berupa penetapan pemberatasan pelecehan seksual terhadap hewan di dalam
UU dan hukuman yang sesuai. Rakyat setempat juga harus ditegaskan untuk bekerja
sama mendukung pemerintah dalam melindungi dan menghargai kebutuhan hewan-hewan
yang terlahir di bumi pertiwi ini sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan YME
dan ungkapan penghargaan pada leluhur yang telah mewarisi keberadaan dan
habitat mereka.
Selain itu peran media massa seharusnya lebih
ditingkatkan dalam penyebaran berita seperti fenomena pelecehan seksual
terhadap hewan. Berita tersebut dikemas dengan baik dan efektif untuk ditujukan
langsung kepada masyarakat Indonesia dan pemerintah di luar Kalimantan, dengan
harapan fenomena ini dapat membuahkan banyak gerakan perlindungan hewan-hewan
langka maupun tidak dari tindak pelecehan jasmani dan psikis mereka dan sebagai
renungan bagi anak bangsa betapa sebuah budaya yang ada dalam naluri dan akal
pikiran manusia harus tetap dijaga dan dipertahankan, agar tidak menjadi satu
aib ataupun batu sandungan untuk perkembangan moral dan budaya milik tanah air Indonesia ini.
Kommentare
Kommentar veröffentlichen